Oleh : Benget
Silitonga, ST
Thema tentang
ketidakadilan sebenarnya bicara tentang cakupan yang luas, karena ketidakadilan
bisa berbicara tentang banyak hal. Ketidakadilan sudah seperti keseharian dalam
hidup kita, kadang-kadang menjadi hal yang biasa dan memandangnya sebagai hal
yang lumrah, sesuatu yang tidak usah dibicarakan apalagi diperjuangkan. Banyak
orang menganggap berbicara tentang ketidakadilan adalah hal yang muskyl, ketika
kita berbicara korban pembangunan, perampasan, nasib buruh yang hak-hak
normatifnya tidak diberikan, dan kita berjuang untuk keadilan dianggap orang
sebagai hal muskyl, berposisi pada sikap pasif merespon ketidakadilan. Apakah
kita sudah masuk dalam golongan orang yang seperti itu, atau kita masuk dalam
golongan yang terganggu, gelisah, tidak bisa tidur kalau melihat ketidakadilan?
Mudah-mudahan kita masuk dalam golongan yang terakhir itu.
Makin
banyak orang sekarang kritis terhadap ketidakadilan, memperbincangkannya,
mendiskusikannya, tetapi sedikit yang yang mau berjuang untuk mengatasinya.
Makin banyak orang yang kritis terhadap kenyataan lingkungan sosial, politik,
ekonomi, tetapi makin sedikit orang yang
bersedia ketika ditantang untuk menghadirkan suatu obat penawar
mengatasi ketidakadilan itu. Kita sudah mengecap era demokrasi/reformasi sejak
1998, banyak orang yang mengimpikan reformasi melahirkan keadaan yang lebih
baik, dalam hal keadilan, kesejahteraan, tapi kenyataannya justru tidak
demikian, memang tidak dapat disangkal bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul
kini kita nikmati dengan bebas, orang bebas berkumpul, berdiskusi, situasi yang
saat orde yang lalu sangat sulit terjadi.
Sesuai amanat konstitusi kita UUD 1945, negara itu ada untuk mewujudkan
keadilan, melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut mewujudkan perdamaian dunia. Kalau
melihat 4 tujuan negara ini tentu ada aspek keadilan. Walau masih sulit
ditemukan tetapi ada hal yang luar biasa terjadi yaitu politik makin bebas tidak
membuat keadilan makin nyata, ini membuat makin banyak orang skeptis, makin
lumrah, makin tidak punya daya untuk membuat orang terganggu, malah ikut
merespon. Kalaupun ada, respon-respon yang bersifat sporadis, temporer.
Kenapa ketidakadilan masih ada sampai saat
ini? Padahal kita sudah hidup di era yang seharusnya bisa menghadirkan
keadilan. Mengapa kebebasan politik yang kita nikmati, bebas berpartai, bebas
membentuk partai, bebas memilih, bahkan memilih secara langsung, tapi keadilan,
kebaikan, kesejahteraan tidak tersentuh, tidak dapat diraih? Hal ini dapat
dilihat dari banyakk sudut pandang, tapi saya ingin menyorotinya dari sudut
politik. Sadar atau tidak sadar, kita memasuki era kebebasan tapi juga bersamaan
kita memasuki era dimana negara makin tidak berdaya. Siapa yang masih setuju
kalau negara kita kuat dan berdaya? Melayani pemenuhan hak atas listrik yang
begitu umum di negara-negara yang sudah merdeka/maju, di negara kita masih
terbengkalai/gagal. Melayani pemenuhan hak menjalankan ibadah yang hal itu
adalah amanat konstitusipun, negara tidak berdaya menghadapi segerombolan orang
yang karena pandangan picik terhadap keyakinan agamanya, menghukum, menghakimi
bahkan menzolimi warga yang berbeda keyakinan. Negara makin alpa ketika
menghadapi orang-orang yang ingin mencari keadilan, orang-orang lemah yang
mencari keadilan di lorong-lorong pengadilan, di ruang-ruang kantor polisi,
negara tidak berdaya menyediakan pelayanan apalagi rasa keadilan. Inilah
paradox yang kita hadapi, kita masuk di sebuah masa tersedia kebebasan politik
bahkan kebebasan ekonomi tapi juga menghadapi makin melemahnya fungsi-fungsi
lembaga yang diberi mandat oleh kita sebagai warga negara dan konstitusi untuk
melayani/memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara di rumah besar kita Indonesia.
Jika kita telusuri akan
makin banyak daftar ketidakberdayaan pemerintah sekarang. Ada ketidakberdayaan
infrastruktur(ketersediaan jalan kota, propinsi/kabupaten), pelayanan kesehatan
(jika sakit harus punya uang untuk berobat), kalau ditangkap polisi, kehilangan
barang akan lebih mahal biaya mengurusnya dari jumlah barang yang hilang.
Layanan pendidikan pun makin mahal dan mutunya makin memburuk, orang-orang
diajar untuk menjadi manusia penghapal, menjadi manusia pengulang (repetitor) bukan menjadi manusia creator (pencipta) yang punya inovasi.
Terjadi paradox antara kebebasan sipil/politik yang kita raih tapi bersamaan
juga melemahnya lembaga-lembaga politik formal yang ada, termasuk didalamnya
pemerintah/penyelenggara negara. Dalam situasi dimana negara diatas, rakyat
dibawah, tidak ada jembatan yang bisa menghubungkan aspirasi-aspirasi msyarakat
dengan pengambil kebijakan di level negara, karena negara tidak diisi dengan
orang-orang yang punya kapasitas untuk melayani masyarakat. Partai yang ada musiman,
politisi yang ada juga kita tahu kualitasnya, mereka yang seharusnya menjadi
jembatan antara kita sebagai warga negara dengan penyelenggara negara di level
atas, terputus. Ada 2 bahaya yang terjadi :
- Artikulasi keinginan
masyarakat tidak terwakili, akibatnya kebijakan-kebijakan banyak yang
salah
- Makin melemahnya penyelenggara negara melayani warga negara
Tapi yang paling parah dan ini yang memicu dari
perspektif politik demokrasi di tengah ketiadaan linkage yang menghubungkan
antara warga dan pemerintah dengan baik, ada 2 kekuatan besar yang makin
melanggengkan ketidakadilan. Kita makin skeptis dengan penyelenggara negara,
pemerintah, politisi, birokrat, distrust (tidak percaya lagi karena banyaknya
kasus korupsi). Menurut cendikiawan Oletorpis yang mengamati Indonesia, kondisi
ketiadaan linkage antara rakyat dan negara membuat malfungsinya
partai-partai/politisi, fenomenanya adalah makin bangkitnya kekuatan-kekuatan
fundamentalis, orang tidak percaya pada negara, warga menjadi rapuh, saling
curiga antara yang berbeda agama/kelompok, membuat kita mencari penopang kita
masing-masing. Ada 2 penopang yang
sedang berkembang biak dengan subur :
- Mencari penopang pada
kekuatan-kekuatan berbasis komunal (suku, agama)/ fundamentalisme agama.
Jangan heran kalau banyak muncul organisasi/kekuatan yang berlatarbelakang
suku dan agama dan dalam tiap momen tertentu, selalu 2 hal ini yang selalu
ditarik sentimennya. Mereka tidak percaya pada negara, tidak bisa ,melihat
ketidakadilan, gelisah, tapi caranya salah, menggunakan dogma-dogma,
idiom-idiom, keyakinan agama untuk diterapkan dalam praktek kehidupan
- Mencari penopang pada
kekuatan pasar (fundamentalisme pasar), menjadikan nalar ekonomi sebagai
dasar/nilai tertinggi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Apa nalar ekonominya?
Siapa yang memiliki uang, ia bisa membeli barang. Semua dikonversi ke
dalam neraca-neraca/ukuran ekonomi. Neraca ekonomi berkata “siapa yang
memiliki uang, mereka yang paling kuat”. Hak akhirnya
ditransaksikan/digadai karena semua telah dikonversi menjadi soal untung
&rugi, bukan lagi pada misi memperbaiki negara, memperbaiki
ketidakadilan, mengobati atau mencari solusi terhadap ketidakadilan.
Jangan heran kalau layanan
publik masih berwatak ‘jika punya uang, anda akan dilayani dengan baik’, hal ini
dapat terjadi di rumah sakit, ketika ada masalah di kantor polisi. Dan bahkan
dalam kehidupan sosial, fundamentalisme pasar itu tanpa sadar terjadi dalam
hidup kita. Dua fenomena ini sedang mencangkok/merekrut kita. Fundamentalisme
pasar hanya akan melanggengkan orang yang memiliki uang untuk tetap eksis dan
orang miskin dianggap bukan warga negara. Hak sebagai warga negara telah
diukur/dinilai dengan ukuran ekonomis, warga tidak lagi dilihat sebagai sebagai
warga yang setara, yang sama haknya tanpa membedakan latarbelakang
agama,pendapatan, suku dll. Apa kita makin menggerutu dan melemahkan
negara/pemerintah dan masuk dalam 2 arus tadi atau memilih salah satu? Kita
hidup menghadapi era demokratis, reformasi tapi bersamaan juga penyelenggara
negara sebagai kekuatan supra struktur yang seharusnya menghadirkan keadilan, menyediakan
layanan publik, semakin lemah, tak berdaya dan ada 2 kekuatan digdaya yang
saling berebut, berkompetisi mempengaruhi warga untuk menawarkan diri sebagai
solusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga gereja
sekaligus warga negara, kita tidak bisa lari dan berkata ‘ini bukan urusan
kami, ini terlalu berat untuk dipikirkan’. Praktek kedua fundamentalisme ini
bukan saja sudah masuk di penyelenggara negara tapi juga di kampus. Sebagai
generasi muda, pemangku generasi yang akan datang, apalagi sebagai umat yang
percaya, menurut keyakinan kita, haruslah tegakkan hukum,kerjakan keadilan,
berpihaklah pada yang lemah. Pertanyaannya adalah bagaimana
mengimplementasikannya dalam praktek sehari-hari. Kita tidak boleh menjadi skeptis
tapi juga jangan terlalu mudah memuja-muji bangsa ini, kita harus selalu kritis
dengan situasi yang ada tapi juga tidak membuat kita berubah ketika akhirnya
kita sudah menjadi penyelenggara negara. Agak sulit diterima nalar, dalam hal
listrik ditengah-tengah bangsa yang sumber dayanya kaya raya, sudah
berbulan-bulan listrik tidak dapat dipenuhi, sebuah kebutuhan yang tidak perlu
kecerdasan luar biasa untuk menyediakannya. Memang demokrasi sudah terbuka tapi
memenuhi hak atas keadilan semakin jauh dari harapan, padahal seharusnya
demokrasi berbanding lurus dengan dengan keadilan, kebaikan, karena itu banyak
negara-negara didunia yang berubah menjadi negara demokrasi, karena sistem
pemerintahan yang terbaik dari yang terburuk adalah demokrasi. Masalahnya ada
anomali dimana era demokrasi tidak sejalan dengan pemenuhan atas hak-hak. Mari
kita tetap kritis tapi juga tidak skeptis melihat keadaan ini. Jika kita makin skeptis,
makin pintar menggerutu, keadaan ini tidak akan membaik, tetapi sikap
memuja-muji, menganggap kita sudah on the
track juga tidak menguntungkan.Karena itu jadilah garam dan terang tanpa
harus langsung mengatakan kita sudah benar, sudah baik. Terlalu banyak
fakta-fakta yang membuat kita miris dan menangis, bukan berarti kita tidak
mengakui kemajuan kita, tapi faktanya ketidakadilan dan jumlah orang miskin
makin banyak,pertumbuhan ekonomi makro makin tinggi tapi dampaknya di tatanan mikro
tidak ada,yang merasakan bukan orang kebanyakan tetapi hanya sekelompok orang.
Tugas kita sebagai warga negara dan warga
gereja bukan hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, tegakkanlah hukum,
cintai keadilan, kerjakanlah kebenaran merupakan amanat orang-orang percaya.
Jika paradigma kita tidak seperti ini, maka kita makin eksklusif, kita
menganggap situasinya sudah baik, hanya baik untuk kita pribadi, tapi forum
kita bukan bicara tentang individu tetapi persekutuan, keselamatan semua orang
dan itulah yang membedakan kita dengan orang lain. Kalau sekedar mencari
keselamatan pribadi, mungkin kita bisa berhasil, kita bisa berkompetisi, tetapi
ini tidak cukup, secara teologis makna kita sebagai warga negara. Di birokrasi
pemerintahan, kultur dan wataknya masih sifat yang lama, belum sepenuhnya
dengan rela melayani rakyat, terlalu banyak motif-motif lain. Kita bisa maju
kalau kita membangun sikap skeptis, tidak juga kritis tapi enggan memperbaiki,
setelah menjadi PNS tidak mau memperbaiki, cukup puas asal mempunyai kecukupan
secara duniawi. Masihkah kita menjadi bagian dari melihat realita tadi sebagai
warga negara, harus memperbaiki negara dan menghindari 2 penopang
fundamentalisme itu dalam pikiran dan perbuatan?
Tidak ada monumen yang
bisa membuktikan kita ada di peradaban yang baru, semua masih peninggalan
pemerintah yang lama, dia masih punya legacy(warisan)
yang bisa dilihat sekarang. Tantangannya pada kita sekarang adalah: warisan apa
yang akan kita tinggalkan?Yesus sendiri sudah mengorbankan diriNya untuk semua
orang, siapa diantara kita yang mau berkorban? Semua orang berlomba-lomba
menjadi pemimpin walau kapasitasnya jauh dibawah rata-rata. Pengorbanan makin
hilang dan pemikiran dan kerja untuk kepentingan bersama juga makin luntur,
kita tidak percaya lagi ini untuk kepentingan bersama yang jikalau kita rawat
dengan baik akan menyelamatkan negara, orang sudah mencari kepentingan dan
keselamatan sendiri, inilah yang melanggengkan ketidakadilan. Hak yang masih tersisa
untuk kita sebagai warga negara ialah hak pilih. Pilihan kita menentukan siapa
yang duduk sebagai penyelenggara negara. Dengan menggunakan hak pilih, kita
menghukum orang yang mengecewakan kita dan memberi hak pada orang yang dapat
membawa keadaan lebih baik.
Pemilukada di Bali dan Jwa Timur hanya selisih 3 dan 5 suara, karena itu suara kita sangat
menentukan. Semakin sedikit orang yang golput, akan membuat harga satu kursi
lebih besar. Telusuri rekam jejak partai/politisi yang bersih dan jujur sebelum
memilih, jika kita golput, maka orang-orang yang tidak kita sukai, bisa naik
menjadi penyelenggara negara. Bagaimana cara memperbaiki ketidak adilan? Jangan
hanya berhenti dengan menggerutu tapi berkontribusi sekecil apapun, di kampus,
sebagai PNS, sebagai pekerja. Kembangkan keyakinan kita supaya bisa dirasakan
kehadiran kita. Memang ini sulit, karena kita dilahirkan bukan untuk melakukan
hal yang mudah, karena itu mari bergandengan tangan bekerjasama, punya tekad
meninggalkan warisan bagi generasi dibawah kita bahwa negara kita akan tetap
jaya sebagai rumah besar kita yang melindungi semua. Kita harus bangun lintas
budaya/agama, tunjukkan kualitas/mutu kita sehingga orang lupa agama/suku kita,
jangan berpikir karena kita sedikit,
creativity of minority kita tidak muncul, seharusnya semakin kita ditekan,
kreatifitas kita makin muncul. Tapi jika kita tidak memiliki mutu, maka itu
akan menjadikan kita tetap minoritas, tetap nomor dua. Jangan pernah menyerah,
gigihlah, tangan Tuhan masih bekerja dalam hidup kita, tugas kita adalah
mengusahakannya. Dalam mengerjakan keadilan, mungkin seolah-olah gagal/tidak
berguna, tapi yakinlah pasti tercatat dan ada gunanya bagi kehidupan semua
orang.