Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh
Perjalanan masa pacaran yang langgeng akan terlihat dari: bertumbuh dalam
iman dan karakter (jika dalam 1 tahun-2 tahun tidak bertumbuh dalam iman dan karakter, perlu dievaluasi), hidup semakin kudus dan makin mengasihi Tuhan,
dari hari ke hari semakin mampu mengerti, memperhatikan dan siap menerima dia
apa adanya (jika di masa pacaran pun sulit untuk mengerti dan menerima dia,
maka jangan menikah dengannya),menikmati kebersamaan dalam pelayanan.
Mari baca dari Kej. 2: 15-25; Apakah aku dan dia menjadi penolong yang
sepadan (ay. 18) demi menggenapi misi Allah dalam hidup dan perkawinan nanti
(ay. 15). Benarkah dia dan aku selama masa pacaran telah berperan sebagai
penolong dalam pertumbuhan karakter, iman, pelayanan, problem solver,
kelemahan/kekurangan dst (apakah dia benar-benar jadi penolong yang membuat saya
makin bertumbuh, beriman dan apakah saya
dapat menjadi penolong dia makin bertumbuh dalam iman dan karakter? Benarkah
aku membutuhkan dia dan kehilangan atau kesepian tanpa dirinya (ay. 20) “rasa
kehilangan’ bukan sebatas fisik atau kehadiran tetapi perannya dalam hidup,
jika tanpa dia kita bisa melakukan apa saja, ini perlu dievaluasi, ‘kecarian
dia’ karena ada sesuatu yang hendak kita lakukan/berikan untuk memaksimalkan
pasangan, kita punya sesuatu yang dapat kita bagikan untuk menolong dia
bertumbuh. Menikah bukan supaya bahagia, melainkan untuk membahagiakan pasangan.
Jika kita menikah supaya berbahagia maka itu eksploitasi, tapi menikah adalah
untuk membahagiakan pasangan.
Apakah prinsip ‘tulang
daripada tulangku & daging daripada dagingku’ (ay. 23) semakin nyata
atau menyatu? – satu visi dan tujuan hidup, beban dan tanggungjawab, dalam
menghargai atau menghormati, mengasihi/merawat dst . Jika waktu pacaran saja
sudah tidak sevisi, tidak sama tujuan hidup, maka lebih baik tidak menikah
dengannya. Apakah kami mampu mengelola perbedaan dan melihat semua perbedaan
diantara kami sebagai kekuatan atau potensi? Kita melihat perbedaan untuk bisa
saling melengkapi, saling membutuhkan (Interdependent). Apakah mampu menerima
pasangan apa adanya (fisik, karakter, kelemahan, keluarga dan latar belakangnya),
kenali kelemahan dan kelebihan pasangan juga latar belakang keluarganya, jika
waktu pacaran kita sulit menerima kelemahannya akan sulit untuk melanjutkan ke
pernikahan. Apakah kami benar-benar mandiri dan dewasa? (ay. 24) “Sebab itu
seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Pasangan adalah prioritas
utama daripada siapapun, jadi tidak boleh ada intervensi orangtua. Ketika
menghadapi masalah dan kesulitan mampu menyelesaikannya secara alkitabiah,
kalau waktu pacaran sudah biasa menyelesaikan masalah maka dalam pernikahan
akan lebih mudah. Dewasa menyikapi semua persoalan (konflik dan perbedaan)
diselesaikan secara mandiri/dewasa, terlalu sering bertengkar waktu pacaran
harus dievaluasi apakah akan tetap menikah. Pertengkaran harus diselesaikan
(Ef 4:26 “janganlah matahari terbenam baru padam amarahmu”) Mandiri secara finansial (bukan kaya), tidak
tergantung pada orangtua/keluarga. Luput
dari intervensi pihak lain (bukan orangtua yang mengatur rumah tangga).
Sungguhkah kami jujur dan terbuka (batin) dalam komunikasi serta tid.k ada
lagi yang harus dirahasiakan? (ay. 25), adakah komunikasi batin yang membuat
tahu perasaan dia. Layakkah dia dipercaya sepenuhnya dalam segala hal?
Beberapa hal yang perlu didiskusikan: Berapa lama masa pacaran yang ideal? (tidak ada batas waktu, asal ada cukup waktu untuk mengenal dengan baik), Boleh enggak ya putus? (harus dilihat apa alasannya, jika tidak sevisi, tidak mengalami partumbuhan iman, sulit memahami pasangan) Bagaimana bila orang tua tidak setuju (jika alasan orangtua sesuai dengan firman Tuhan, patuhi, dan bukan karena hal-hal seperti suku, status ekonomi,dll)
Masa Menjelang Perkawinan
Apabila
masa pacarannya berjalan dengan benar, maka jauh sebelum menikah perlu dibahas beberapa hal: Prinsip relasi
suami-istri (Ef. 5: 21-33) Istri: harus
tunduk pada suami seperti kepada Tuhan (ay. 22), walau pendidikan, gaji
dan jabatan istri lebih tinggi, tetap harus tunduk pada suami. Dasarnya : Suami
adalah kepala istri, sama seperti Kristus adalah kepala jemaat (ay.
23). Sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikianlah seorang istri tunduk
kepada suaminya dalam segala sesuatu (ay. 24). Menghormati suami (ay. 33b). Jika
suami kurang mengasihi, mungkin karena istri kurang tunduk pada suami, hormati
suami dan suamipun akan makin mengasihi. Selama yang diperintahkan suami sesuai
dengan firman Tuhan, istri wajib tunduk. Suami : Mengasihi istri seperti
Kristus mengasihi jemaat (ay. 25) - Kristus mengasihi jemaat dengan menyerahkan
diri-Nya untuk menguduskannya sehingga menempatkan jemaat di hadapan-Nya dengan
cemerlang tanpa cacat dan kerut serta tak bercela (ay. 26-27), suami wajib
mengasihi istri seperti Kristus pada jemaat, dan menyerahkan segala-galanya
untuk istri. Mengasihi istri sama seperti mengasihi tubuhnya sendiri (ay. 28,
33a) – mengasuh, merawati sama seperti Kristus terhadap jemaat (ay. 29), karena
istri adalah anggota tubuh suami (ay. 30).Tidak berlaku kasar kepada istri
(Kol. 3: 19), tidak ada penghinaan terhadap istri. Hidup bijaksana dengan istri
sebagai kaum yang lebih lemah (1 Ptr. 3: 7a). Menghormati istri sebagai teman
pewaris dari kasih karunia kehidupan, supaya doamu jangan terhalang (1 Ptr. 3:
7b), Jika istri kurang tunduk, mungkin suami kurang mengasihi, jadi dalam
pernikahan, suami istri harus saling mendahului melakukan yang terbaik.
Diskusikan & Putuskan Bersama
Kalau
nanti menikah: Tinggal di mana (sedapat mungkin tidak PMI, pisah rumah dengan
orangtua perlu untuk penyesuaian), beribadah di gereja apa, pelayanan di mana serta bagaimana dengan
persembahan? (Dimana kita bisa bertumbuh dan hadir memberi berkat, berapa
persembahan untuk gereja, pelayanan harus dibicarakan). Pekerjaan (jenis dan
tempat), bd. 1 Kor. 7: 3-5, jika waktu
pacaran berbeda kota, salah satu harus meninggalkan pekerjaan supaya bisa
bersama-sama, harus ada pengorbanan. Bagaimana membangun family altar (bagaimana
suami membawa keluarga tetap beribadah, saat teduh bersama, jam doa, ibadah
keluarga). Berapa anak yang diharapkan (lk/pr) dan bagaimana jika tidak dikaruniakan anak? Siapkah
jika tidak diberi anak dan kita akan bebas melayani Tuhan tanpa gangguan, jika
kita menikah, seharusnya kita dapat menerima dia apa adanya. Mendidik,
membesarkan, biaya pendidikan dan asuransi anak. Apa kebutuhan yang perlu segera
dibeli (kredit atau lunas) – rumah/kpr, kenderaan, perabot dll (jangan terjebak
dengan kredit yang menumpuk dan timbul masalah kemudian). Management keuangan
dan penggunaannya (siapa mengatur keuangan). Sikap dan pandangan terhadap
keluarga (orangtua dan saudara sebagai objek kasih Allah) , jika ada keluarga
yang perlu dibantu harus dipikirkan dan dibicarakan. Membantu keluarga dan
sumbangan sosial. Keterlibatan dalam organisasi sosial, olah raga dst (masuk
STM mana)
Persiapan Perkawinan
Bila sudah yakin dipersatukan Tuhan: Rencanakan waktu, tempat dan bentuk pesta
bersama keluarga. Hal ini juga berelasi soal pendanaan. Inti pernikahan adalah
pemberkatan kudus, bukan pesta mewah demi gengsi. Persiapan rumah, perabot dll setelah pemberkatan.
Persiapan administrasi gereja, catatan sipil dll. Persiapan hati
yang lebih matang untuk memasuki dunia baru dalam tuntunan Tuhan.
Solideo Gloria!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar