Jumat, 14 Maret 2014

KETIDAKADILAN

Oleh : Benget Silitonga, ST 



Thema tentang ketidakadilan sebenarnya bicara tentang cakupan yang luas, karena ketidakadilan bisa berbicara tentang banyak hal. Ketidakadilan sudah seperti keseharian dalam hidup kita, kadang-kadang menjadi hal yang biasa dan memandangnya sebagai hal yang lumrah, sesuatu yang tidak usah dibicarakan apalagi diperjuangkan. Banyak orang menganggap berbicara tentang ketidakadilan adalah hal yang muskyl, ketika kita berbicara korban pembangunan, perampasan, nasib buruh yang hak-hak normatifnya tidak diberikan, dan kita berjuang untuk keadilan dianggap orang sebagai hal muskyl, berposisi pada sikap pasif merespon ketidakadilan. Apakah kita sudah masuk dalam golongan orang yang seperti itu, atau kita masuk dalam golongan yang terganggu, gelisah, tidak bisa tidur kalau melihat ketidakadilan? Mudah-mudahan kita masuk dalam golongan yang terakhir itu.

            Makin banyak orang sekarang kritis terhadap ketidakadilan, memperbincangkannya, mendiskusikannya, tetapi sedikit yang yang mau berjuang untuk mengatasinya. Makin banyak orang yang kritis terhadap kenyataan lingkungan sosial, politik, ekonomi, tetapi makin sedikit orang yang  bersedia ketika ditantang untuk menghadirkan suatu obat penawar mengatasi ketidakadilan itu. Kita sudah mengecap era demokrasi/reformasi sejak 1998, banyak orang yang mengimpikan reformasi melahirkan keadaan yang lebih baik, dalam hal keadilan, kesejahteraan, tapi kenyataannya justru tidak demikian, memang tidak dapat disangkal bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul kini kita nikmati dengan bebas, orang bebas berkumpul, berdiskusi, situasi yang saat orde yang lalu sangat sulit terjadi.  Sesuai amanat konstitusi kita UUD 1945, negara itu ada untuk mewujudkan keadilan, melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut mewujudkan perdamaian dunia. Kalau melihat 4 tujuan negara ini tentu ada aspek keadilan. Walau masih sulit ditemukan tetapi ada hal yang luar biasa terjadi yaitu politik makin bebas tidak membuat keadilan makin nyata, ini membuat makin banyak orang skeptis, makin lumrah, makin tidak punya daya untuk membuat orang terganggu, malah ikut merespon. Kalaupun ada, respon-respon yang bersifat sporadis, temporer.

 Kenapa ketidakadilan masih ada sampai saat ini? Padahal kita sudah hidup di era yang seharusnya bisa menghadirkan keadilan. Mengapa kebebasan politik yang kita nikmati, bebas berpartai, bebas membentuk partai, bebas memilih, bahkan memilih secara langsung, tapi keadilan, kebaikan, kesejahteraan tidak tersentuh, tidak dapat diraih? Hal ini dapat dilihat dari banyakk sudut pandang, tapi saya ingin menyorotinya dari sudut politik. Sadar atau tidak sadar, kita memasuki era kebebasan tapi juga bersamaan kita memasuki era dimana negara makin tidak berdaya. Siapa yang masih setuju kalau negara kita kuat dan berdaya? Melayani pemenuhan hak atas listrik yang begitu umum di negara-negara yang sudah merdeka/maju, di negara kita masih terbengkalai/gagal. Melayani pemenuhan hak menjalankan ibadah yang hal itu adalah amanat konstitusipun, negara tidak berdaya menghadapi segerombolan orang yang karena pandangan picik terhadap keyakinan agamanya, menghukum, menghakimi bahkan menzolimi warga yang berbeda keyakinan. Negara makin alpa ketika menghadapi orang-orang yang ingin mencari keadilan, orang-orang lemah yang mencari keadilan di lorong-lorong pengadilan, di ruang-ruang kantor polisi, negara tidak berdaya menyediakan pelayanan apalagi rasa keadilan. Inilah paradox yang kita hadapi, kita masuk di sebuah masa tersedia kebebasan politik bahkan kebebasan ekonomi tapi juga menghadapi makin melemahnya fungsi-fungsi lembaga yang diberi mandat oleh kita sebagai warga negara dan konstitusi untuk melayani/memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara  di rumah besar kita Indonesia.

Jika kita telusuri akan makin banyak daftar ketidakberdayaan pemerintah sekarang. Ada ketidakberdayaan infrastruktur(ketersediaan jalan kota, propinsi/kabupaten), pelayanan kesehatan (jika sakit harus punya uang untuk berobat), kalau ditangkap polisi, kehilangan barang akan lebih mahal biaya mengurusnya dari jumlah barang yang hilang. Layanan pendidikan pun makin mahal dan mutunya makin memburuk, orang-orang diajar untuk menjadi manusia penghapal, menjadi manusia pengulang (repetitor) bukan menjadi manusia creator (pencipta) yang punya inovasi. Terjadi paradox antara kebebasan sipil/politik yang kita raih tapi bersamaan juga melemahnya lembaga-lembaga politik formal yang ada, termasuk didalamnya pemerintah/penyelenggara negara. Dalam situasi dimana negara diatas, rakyat dibawah, tidak ada jembatan yang bisa menghubungkan aspirasi-aspirasi msyarakat dengan pengambil kebijakan di level negara, karena negara tidak diisi dengan orang-orang yang punya kapasitas untuk melayani masyarakat. Partai yang ada musiman, politisi yang ada juga kita tahu kualitasnya, mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara kita sebagai warga negara dengan penyelenggara negara di level atas, terputus. Ada 2 bahaya yang terjadi :
  1. Artikulasi keinginan masyarakat tidak terwakili, akibatnya kebijakan-kebijakan banyak yang salah
  2. Makin melemahnya penyelenggara negara melayani warga negara
Tapi yang paling parah dan ini yang memicu dari perspektif politik demokrasi di tengah ketiadaan linkage yang menghubungkan antara warga dan pemerintah dengan baik, ada 2 kekuatan besar yang makin melanggengkan ketidakadilan. Kita makin skeptis dengan penyelenggara negara, pemerintah, politisi, birokrat, distrust (tidak percaya lagi karena banyaknya kasus korupsi). Menurut cendikiawan Oletorpis yang mengamati Indonesia, kondisi ketiadaan linkage antara rakyat dan negara membuat malfungsinya partai-partai/politisi, fenomenanya adalah makin bangkitnya kekuatan-kekuatan fundamentalis, orang tidak percaya pada negara, warga menjadi rapuh, saling curiga antara yang berbeda agama/kelompok, membuat kita mencari penopang kita masing-masing. Ada 2  penopang yang sedang berkembang biak dengan subur :
  1. Mencari penopang pada kekuatan-kekuatan berbasis komunal (suku, agama)/ fundamentalisme agama. Jangan heran kalau banyak muncul organisasi/kekuatan yang berlatarbelakang suku dan agama dan dalam tiap momen tertentu, selalu 2 hal ini yang selalu ditarik sentimennya. Mereka tidak percaya pada negara, tidak bisa ,melihat ketidakadilan, gelisah, tapi caranya salah, menggunakan dogma-dogma, idiom-idiom, keyakinan agama untuk diterapkan dalam praktek kehidupan
  2. Mencari penopang pada kekuatan pasar (fundamentalisme pasar), menjadikan nalar ekonomi sebagai dasar/nilai tertinggi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Apa nalar ekonominya? Siapa yang memiliki uang, ia bisa membeli barang. Semua dikonversi ke dalam neraca-neraca/ukuran ekonomi. Neraca ekonomi berkata “siapa yang memiliki uang, mereka yang paling kuat”. Hak akhirnya ditransaksikan/digadai karena semua telah dikonversi menjadi soal untung &rugi, bukan lagi pada misi memperbaiki negara, memperbaiki ketidakadilan, mengobati atau mencari solusi terhadap ketidakadilan.
Jangan heran kalau layanan publik masih berwatak ‘jika punya uang, anda akan dilayani dengan baik’, hal ini dapat terjadi di rumah sakit, ketika ada masalah di kantor polisi. Dan bahkan dalam kehidupan sosial, fundamentalisme pasar itu tanpa sadar terjadi dalam hidup kita. Dua fenomena ini sedang mencangkok/merekrut kita. Fundamentalisme pasar hanya akan melanggengkan orang yang memiliki uang untuk tetap eksis dan orang miskin dianggap bukan warga negara. Hak sebagai warga negara telah diukur/dinilai dengan ukuran ekonomis, warga tidak lagi dilihat sebagai sebagai warga yang setara, yang sama haknya tanpa membedakan latarbelakang agama,pendapatan, suku dll. Apa kita makin menggerutu dan melemahkan negara/pemerintah dan masuk dalam 2 arus tadi atau memilih salah satu? Kita hidup menghadapi era demokratis, reformasi tapi bersamaan juga penyelenggara negara sebagai kekuatan supra struktur yang seharusnya menghadirkan keadilan, menyediakan layanan publik, semakin lemah, tak berdaya dan ada 2 kekuatan digdaya yang saling berebut, berkompetisi mempengaruhi warga untuk menawarkan diri sebagai solusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga gereja sekaligus warga negara, kita tidak bisa lari dan berkata ‘ini bukan urusan kami, ini terlalu berat untuk dipikirkan’. Praktek kedua fundamentalisme ini bukan saja sudah masuk di penyelenggara negara tapi juga di kampus. Sebagai generasi muda, pemangku generasi yang akan datang, apalagi sebagai umat yang percaya, menurut keyakinan kita, haruslah tegakkan hukum,kerjakan keadilan, berpihaklah pada yang lemah. Pertanyaannya adalah bagaimana mengimplementasikannya dalam praktek sehari-hari. Kita tidak boleh menjadi skeptis tapi juga jangan terlalu mudah memuja-muji bangsa ini, kita harus selalu kritis dengan situasi yang ada tapi juga tidak membuat kita berubah ketika akhirnya kita sudah menjadi penyelenggara negara. Agak sulit diterima nalar, dalam hal listrik ditengah-tengah bangsa yang sumber dayanya kaya raya, sudah berbulan-bulan listrik tidak dapat dipenuhi, sebuah kebutuhan yang tidak perlu kecerdasan luar biasa untuk menyediakannya. Memang demokrasi sudah terbuka tapi memenuhi hak atas keadilan semakin jauh dari harapan, padahal seharusnya demokrasi berbanding lurus dengan dengan keadilan, kebaikan, karena itu banyak negara-negara didunia yang berubah menjadi negara demokrasi, karena sistem pemerintahan yang terbaik dari yang terburuk adalah demokrasi. Masalahnya ada anomali dimana era demokrasi tidak sejalan dengan pemenuhan atas hak-hak. Mari kita tetap kritis tapi juga tidak skeptis melihat keadaan ini. Jika kita makin skeptis, makin pintar menggerutu, keadaan ini tidak akan membaik, tetapi sikap memuja-muji, menganggap kita sudah on the track juga tidak menguntungkan.Karena itu jadilah garam dan terang tanpa harus langsung mengatakan kita sudah benar, sudah baik. Terlalu banyak fakta-fakta yang membuat kita miris dan menangis, bukan berarti kita tidak mengakui kemajuan kita, tapi faktanya ketidakadilan dan jumlah orang miskin makin banyak,pertumbuhan ekonomi makro makin tinggi tapi dampaknya di tatanan mikro tidak ada,yang merasakan bukan orang kebanyakan tetapi hanya sekelompok orang.

Tugas kita sebagai warga negara dan warga gereja bukan hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, tegakkanlah hukum, cintai keadilan, kerjakanlah kebenaran merupakan amanat orang-orang percaya. Jika paradigma kita tidak seperti ini, maka kita makin eksklusif, kita menganggap situasinya sudah baik, hanya baik untuk kita pribadi, tapi forum kita bukan bicara tentang individu tetapi persekutuan, keselamatan semua orang dan itulah yang membedakan kita dengan orang lain. Kalau sekedar mencari keselamatan pribadi, mungkin kita bisa berhasil, kita bisa berkompetisi, tetapi ini tidak cukup, secara teologis makna kita sebagai warga negara. Di birokrasi pemerintahan, kultur dan wataknya masih sifat yang lama, belum sepenuhnya dengan rela melayani rakyat, terlalu banyak motif-motif lain. Kita bisa maju kalau kita membangun sikap skeptis, tidak juga kritis tapi enggan memperbaiki, setelah menjadi PNS tidak mau memperbaiki, cukup puas asal mempunyai kecukupan secara duniawi. Masihkah kita menjadi bagian dari melihat realita tadi sebagai warga negara, harus memperbaiki negara dan menghindari 2 penopang fundamentalisme itu dalam pikiran dan perbuatan?


Tidak ada monumen yang bisa membuktikan kita ada di peradaban yang baru, semua masih peninggalan pemerintah yang lama, dia masih punya legacy(warisan) yang bisa dilihat sekarang. Tantangannya pada kita sekarang adalah: warisan apa yang akan kita tinggalkan?Yesus sendiri sudah mengorbankan diriNya untuk semua orang, siapa diantara kita yang mau berkorban? Semua orang berlomba-lomba menjadi pemimpin walau kapasitasnya jauh dibawah rata-rata. Pengorbanan makin hilang dan pemikiran dan kerja untuk kepentingan bersama juga makin luntur, kita tidak percaya lagi ini untuk kepentingan bersama yang jikalau kita rawat dengan baik akan menyelamatkan negara, orang sudah mencari kepentingan dan keselamatan sendiri, inilah yang melanggengkan ketidakadilan. Hak yang masih tersisa untuk kita sebagai warga negara ialah hak pilih. Pilihan kita menentukan siapa yang duduk sebagai penyelenggara negara. Dengan menggunakan hak pilih, kita menghukum orang yang mengecewakan kita dan memberi hak pada orang yang dapat membawa keadaan lebih baik. 

Pemilukada di Bali dan Jwa Timur hanya selisih 3  dan 5 suara, karena itu suara kita sangat menentukan. Semakin sedikit orang yang golput, akan membuat harga satu kursi lebih besar. Telusuri rekam jejak partai/politisi yang bersih dan jujur sebelum memilih, jika kita golput, maka orang-orang yang tidak kita sukai, bisa naik menjadi penyelenggara negara. Bagaimana cara memperbaiki ketidak adilan? Jangan hanya berhenti dengan menggerutu tapi berkontribusi sekecil apapun, di kampus, sebagai PNS, sebagai pekerja. Kembangkan keyakinan kita supaya bisa dirasakan kehadiran kita. Memang ini sulit, karena kita dilahirkan bukan untuk melakukan hal yang mudah, karena itu mari bergandengan tangan bekerjasama, punya tekad meninggalkan warisan bagi generasi dibawah kita bahwa negara kita akan tetap jaya sebagai rumah besar kita yang melindungi semua. Kita harus bangun lintas budaya/agama, tunjukkan kualitas/mutu kita sehingga orang lupa agama/suku kita, jangan berpikir karena kita sedikit, creativity of minority kita tidak muncul, seharusnya semakin kita ditekan, kreatifitas kita makin muncul. Tapi jika kita tidak memiliki mutu, maka itu akan menjadikan kita tetap minoritas, tetap nomor dua. Jangan pernah menyerah, gigihlah, tangan Tuhan masih bekerja dalam hidup kita, tugas kita adalah mengusahakannya. Dalam mengerjakan keadilan, mungkin seolah-olah gagal/tidak berguna, tapi yakinlah pasti tercatat dan ada gunanya bagi kehidupan semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tema Unggulan

Mempersiapkan PERKAWINAN

Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh Perjalanan masa pacaran yang langgeng akan terlihat dari: bertumbuh dalam iman dan karakter (jika...