Selasa, 12 November 2013

Eksposisi : LUKAS 10

Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh


Lukas 10:25-37

Lukas tidak mencatat kapan peristiwaini terjadi, tapi ada seorang ahli taurat yang menjumpai Yesus bukan dengan tulus ingin bertanya tapi ingin mencobai/menjebak Yesus. Ia bertanya “Apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”(ayat 25). Yang salah dari konsep ahli taurat ini bahwa untuk mendapatkan hidup yang kekal melalui apa yang kita perbuat bagi Allah, Kenapa? Dalam konsep yahudi/ahli taurat siapa yang taat hukum taurat, dia akan selamat. Dia tahu konsep itu tapi ia mau menjebak Yesus dengan bertanya apa yang harus dilakukan untuk memperoleh hidup kekal.Tetapi Yesus meresponinya dengan menyuruh dia mengingat apa yang tertulis dalam hukum taurat (ayat 26). Ahli taurat itu menjawab “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”(ayat 27). Tuhan Yesus membenarkan jawaban tersebut dan memerintahkan agar hal itu dikerjakan (ayat 28). Memang dalam pemahaman kitab suci, ahli taurat tidak perlu diragukan, mereka paham  firman Tuhan, hafal firman Tuhan tapi kelemahannya adalah mereka tidak melakukannya. Jawaban Tuhan Yesus membuat ahli taurat ini berdalih”Siapakah sesamaku manusia?”(ayat 29). Ada 3 hal negatif yang dilakukan ahli taurat ini : bertanya untuk mencobai, tahu kebenaran firman Tuhan tapi tidak melakukan, tahu firman Tuhan tapi tetap berdalih. Mungkin kita juga bisa terjebak seperti ahli taurat ini, kita tahu firman Tuhan tapi tidak melakukan atau berdalih untuk melakukan. Pertanyaannya dijawab Tuhan Yesus dengan sebuah ilustrasi, sebuah kisah orang Yahudi yang sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Dalam perjalanan ia tertimpa musibah diserang penyamun, hartanya dirampok, dan ia dipukul sampai terluka.Dalam keadaan sekarat ia dibiarkan tergeletak di tepi jalan (ayat 30). Sewaktu orang itu terkapar setengah mati lewatlah berturut-turut seorang imam dan seorang Lewi. Keduanya orang yahudi, tergolong rohaniawan, dan pemimpin agama pada zaman itu (ayat 31-32) Imam maupun Lewi yang melihat dari jauh, bukannya berhenti sebentar atau memberikan pertolongan sebisanya, mereka malah menghindar dari tanggung jawab tindakan kasih. Mungkin masing-masing dari mereka memiliki simpati pada korban, namun mereka punya alasan untuk tidak menolongnya. Ketika mereka melihat musibah menimpa sesamanya, sebangsa dan seagama, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka tidak mau repot dan ingin menghindar dari persoalan.

Kemudian lewatlah seorang Samaria (ayat 33), berbeda dengan orang yahudi, ia turun dari keledainya, mencuci lukanya dengan minyak dan anggur dan membawa korban ke tempat penginapan dan merawatnya dan menginap semalam. Karena ada urusan yang harus diselesaikannya, ia menitipkan uang secukupnya untuk pemilik penginapan sebagai biaya merawat korban. Ia berjanji setelah urusannya selesai, ia akan kembali untuk membayar segala kekurangan yang ada (ayat 35). Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli taurat itu “Siapakah sesamaku manusia?”Yesus balik bertanya kepadanya”Siapakah diantara ketiga orang ini yang menurut pendapatmu adalah sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (ayat 36).  Persoalannya bukan ia tidak tahu siapa sesamanya, bagi dia sesamanya adalah : sesama ahli taurat (satu profesi), sesama orang Yahudi (satu etnis), orang yang beribadah pada Allah yang sama (satu agama). Pertanyaan Tuhan Yesus dijawab ahli taurat “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (ayat 37). Yesus menutup dialognya sambil berkata “Pergilah dan perbuatlah demikian” (ayat 37b).

Bukan berarti kita bisa tidak terjebak dengan sikap kedua orang ini (imam dan Lewi), tokoh spiritual dan pemimpin agama. Orang yang religius tanpa religiusitas, memiliki jabatan rohani, kegiatan rohani, hafal firman Tuhan tapi tidak melakukan. Kitapun sebagai alumni jangan sampai bersikap asosial (anti kepedulian sosial). Mari belajar hal-hal positif dari orang samaria ini pertama : waktu orang Samaria ini melihat orang itu tergeraklah hatinya dengan belas kasihan (ayat 33). Dalam kepedulian sosial/ tindakan kasih pada sesama digerakkan oleh belas kasihan bukan semata menggerakkan simpati (seperti imam dan Lewi) tapi juga empati. Kebiasaan hidup di kota cenderung individualis, hidup dengan diri sendiri, seringkali duduk bersama dengan keluarga/teman tapi masing-masing sibuk dengan gadget/hp. Kekeristenan jangan sampai tidak punya dampak/warna, kita menjadi asosial, tidak peduli dengan sesama. Ketika ada korban tabrak lari, kita takut menolong, karena takut menjadi saksi, tidak mau berkorban uang dan waktu. Orang yang digerakkan dengan kasih menolong orang menembus batas suku, agama, status sosial. Tidak ada persamaan antara Samaria dan yahudi, orang samaria dianggap kafir, tapi ia menolong orang Yahudi yang sanagt berbeda dengan dia, kasih yang sejati tidak saja simpati tapi empati dengan tindakan yang real. Memang perintah Paulus untuk menolong terutama kawan-kawan kita seiman (Gal 3:10), tapi kasih menembus batas perbedaan suku, agama status sosial. 1 Yoh 3:18 “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”.

Hal positif yang kedua yang dilakukan orang samaria ini adalah ia mengasihi dengan perbuatan. Ia tidak melakukan tindakan setengah-setengah tapi menyeluruh (34,35), melakukan sampai tuntas. Mari belajar menolong bukan dengan setengah-setengah. Ketiga: orang Samaria ini rela berkorban : korban waktu (menginap satu malam,terhalang pekerjaannya 1 hari 1 malam), korban peluang bsinis, korban dana (dia harus membayar penginapan, merawat korban).Ketika kita mengasihi hal ini tidak pernah memberatkan. Sampai akhir dialog ini Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli taurat “Siapakah sesamaku?” adalah karena pertanyaan ini keliru. Pertanyaan ini berarti yang menentukan siapa yang berhak ditolong adalah kita, bukan orang yang perlu ditolong. Sesamaku disini berasumsi ada orang yang termasuk kelompokku dan ada yang tidak, ada yang berhak ditolong ada yang tidak. Ini membuat si penanya merasa layak menentukan siapa sesamanya dan siapa yang bukan, karena tidak semua orang adalah sesamanya. Hal inilah yang membuat banyak orang picik, tidak mau bergaul, sesamaku adalah satu kampus, satu fakultas, satu jurusan, satu marga, satu agama, satu gereja, satu sektor. Sehingga hal ini membatasi kita hadir dalam satu acara/kegiatan jika kita tidak terlibat di satu kepengurusan tertentu. Orang Lewi dan imam mengaksklusifkan hanya orang Lewi dan yahudi. Ini juga dapat terjadi pada kita menjadi kelompok yang eksklusif, terkotak-kotak, memilih mana yang layak ditolong, mana yang tidak. Orang Samaria menjadi sesama bagi orang yang dirampok. Selama ini orang Yahudi dan orang Samaria saling bermusuhan, tapi tidak menghalangi dia untuk menolong.

Sikap yang benar adalah bahwa kita menjadi sesama bagi siapa saja. Jadi bukan “Siapakah sesamaku” tapi “Siapakah aku bagi sesama?”Siapakah kita bagi koruptor? Siapakah kita bagi korban ketidakadilan? Siapakah kita bagi orang-orang miskin? Siapa kita bagi para pengungsi< anak-anak jalanan, mereka yang tidak bisa sekolah karena tidak punya uang, anak-anak keluarga broken home, pedagang kaki lima yang digusur? Apakah kita diam hanya karena mereka bukan orang yang kita kenal? Bukan orang yang layak untuk kita tolong? Menolong bukan hanya karenaa satu gereja, satu suku, satu agama. Siapakah kita bagi mahasiswa yang ditindas? Siapakah kita bagi mahasiswa yang selalu diajarin asisten dosen karena dosennya tidak pernah masuk? Mari berbuat untuk meminimalisir kejahatan.Siapakah Yesus bagi kita? Dia telah menebus kita dari dosa, inilah kasih yang simpati dan empati. Roma 5:8 “Akan tetapi Allah telah manunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” Bukankah ketika kita masih berdosa Kristus mati untuk kita?  Jika kita bersama para koruptor, pemabuk, pezinah, penindas, siapakah kita bagi mereka? Ingat, kita bukan hakim yang menghukum mereka. Dengan pertanyaan “Siapakah aku bagi sesamaku” akan menghilangkan konflik horizontal antar agama, suku, golongan. Kita harus berpikir bagaimana menjadi sesama bagi orang lain. Membangun sikap menjadi sesama akan menghilangkan kecurigaan, pengkotak-kotakan dalam masyarakat. Tidak ada batas agama, suku dan status sosial. Kita adalah sesama. Mari menularkan sikap ini dan akan menolong menciptakan kerukunan beragama. 



Solideo Gloria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tema Unggulan

Mempersiapkan PERKAWINAN

Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh Perjalanan masa pacaran yang langgeng akan terlihat dari: bertumbuh dalam iman dan karakter (jika...