Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh
Lukas 10:25-37
Lukas tidak
mencatat kapan peristiwaini terjadi, tapi ada seorang ahli taurat yang
menjumpai Yesus bukan dengan tulus ingin bertanya tapi ingin mencobai/menjebak
Yesus. Ia bertanya “Apa yang harus aku
perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”(ayat 25). Yang salah dari
konsep ahli taurat ini bahwa untuk mendapatkan hidup yang kekal melalui apa
yang kita perbuat bagi Allah, Kenapa? Dalam konsep yahudi/ahli taurat siapa
yang taat hukum taurat, dia akan selamat. Dia tahu konsep itu tapi ia mau
menjebak Yesus dengan bertanya apa yang harus dilakukan untuk memperoleh hidup
kekal.Tetapi Yesus meresponinya dengan menyuruh dia mengingat apa yang tertulis
dalam hukum taurat (ayat 26). Ahli taurat itu menjawab “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu dan
kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”(ayat 27). Tuhan Yesus
membenarkan jawaban tersebut dan memerintahkan agar hal itu dikerjakan (ayat
28). Memang dalam pemahaman kitab suci, ahli taurat tidak perlu diragukan,
mereka paham firman Tuhan, hafal firman
Tuhan tapi kelemahannya adalah mereka tidak melakukannya. Jawaban Tuhan Yesus
membuat ahli taurat ini berdalih”Siapakah
sesamaku manusia?”(ayat 29). Ada 3 hal negatif yang dilakukan ahli taurat
ini : bertanya untuk mencobai, tahu kebenaran
firman Tuhan tapi tidak melakukan, tahu firman Tuhan tapi tetap berdalih.
Mungkin kita juga bisa terjebak seperti ahli taurat ini, kita tahu firman Tuhan
tapi tidak melakukan atau berdalih untuk melakukan. Pertanyaannya dijawab Tuhan
Yesus dengan sebuah ilustrasi, sebuah kisah orang Yahudi yang sedang dalam
perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Dalam perjalanan ia tertimpa musibah
diserang penyamun, hartanya dirampok, dan ia dipukul sampai terluka.Dalam
keadaan sekarat ia dibiarkan tergeletak di tepi jalan (ayat 30). Sewaktu orang
itu terkapar setengah mati lewatlah berturut-turut seorang imam dan seorang
Lewi. Keduanya orang yahudi, tergolong rohaniawan, dan pemimpin agama pada
zaman itu (ayat 31-32) Imam maupun Lewi yang melihat dari jauh, bukannya berhenti
sebentar atau memberikan pertolongan sebisanya, mereka malah menghindar dari
tanggung jawab tindakan kasih. Mungkin masing-masing dari mereka memiliki
simpati pada korban, namun mereka punya alasan untuk tidak menolongnya. Ketika
mereka melihat musibah menimpa sesamanya, sebangsa dan seagama, mereka tidak
melakukan apa-apa. Mereka tidak mau repot dan ingin menghindar dari persoalan.
Kemudian lewatlah seorang
Samaria (ayat 33), berbeda dengan orang yahudi, ia turun dari keledainya,
mencuci lukanya dengan minyak dan anggur dan membawa korban ke tempat
penginapan dan merawatnya dan menginap semalam. Karena ada urusan yang harus
diselesaikannya, ia menitipkan uang secukupnya untuk pemilik penginapan sebagai
biaya merawat korban. Ia berjanji setelah urusannya selesai, ia akan kembali
untuk membayar segala kekurangan yang ada (ayat 35). Yesus tidak menjawab
pertanyaan ahli taurat itu “Siapakah sesamaku manusia?”Yesus balik bertanya
kepadanya”Siapakah diantara ketiga orang
ini yang menurut pendapatmu adalah sesama manusia bagi orang yang jatuh ke
tangan penyamun itu?” (ayat 36).
Persoalannya bukan ia tidak tahu siapa sesamanya, bagi dia sesamanya
adalah : sesama ahli taurat (satu profesi), sesama orang Yahudi (satu etnis),
orang yang beribadah pada Allah yang sama (satu agama). Pertanyaan Tuhan Yesus
dijawab ahli taurat “Orang yang telah
menunjukkan belas kasihan kepadanya” (ayat 37). Yesus menutup dialognya
sambil berkata “Pergilah dan perbuatlah
demikian” (ayat 37b).
Bukan berarti kita bisa
tidak terjebak dengan sikap kedua orang ini (imam dan Lewi), tokoh spiritual
dan pemimpin agama. Orang yang religius tanpa religiusitas, memiliki jabatan
rohani, kegiatan rohani, hafal firman Tuhan tapi tidak melakukan. Kitapun
sebagai alumni jangan sampai bersikap asosial (anti kepedulian sosial). Mari
belajar hal-hal positif dari orang samaria ini pertama : waktu orang Samaria ini melihat orang itu tergeraklah
hatinya dengan belas kasihan (ayat 33). Dalam kepedulian sosial/ tindakan kasih
pada sesama digerakkan oleh belas kasihan bukan semata menggerakkan simpati
(seperti imam dan Lewi) tapi juga empati. Kebiasaan hidup di kota cenderung
individualis, hidup dengan diri sendiri, seringkali duduk bersama dengan
keluarga/teman tapi masing-masing sibuk dengan gadget/hp. Kekeristenan jangan
sampai tidak punya dampak/warna, kita menjadi asosial, tidak peduli dengan
sesama. Ketika ada korban tabrak lari, kita takut menolong, karena takut
menjadi saksi, tidak mau berkorban uang dan waktu. Orang yang digerakkan dengan
kasih menolong orang menembus batas suku, agama, status sosial. Tidak ada
persamaan antara Samaria dan yahudi, orang samaria dianggap kafir, tapi ia
menolong orang Yahudi yang sanagt berbeda dengan dia, kasih yang sejati tidak
saja simpati tapi empati dengan tindakan yang real. Memang perintah Paulus
untuk menolong terutama kawan-kawan kita seiman (Gal 3:10), tapi kasih menembus
batas perbedaan suku, agama status sosial. 1 Yoh 3:18 “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan
lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”.
Hal positif yang kedua
yang dilakukan orang samaria ini adalah ia mengasihi dengan perbuatan. Ia tidak
melakukan tindakan setengah-setengah tapi menyeluruh (34,35), melakukan sampai
tuntas. Mari belajar menolong bukan dengan setengah-setengah. Ketiga: orang Samaria ini rela
berkorban : korban waktu (menginap satu malam,terhalang pekerjaannya 1 hari 1
malam), korban peluang bsinis, korban dana (dia harus membayar penginapan,
merawat korban).Ketika kita mengasihi hal ini tidak pernah memberatkan. Sampai
akhir dialog ini Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli taurat “Siapakah sesamaku?” adalah karena
pertanyaan ini keliru. Pertanyaan ini berarti yang menentukan siapa yang berhak
ditolong adalah kita, bukan orang yang perlu ditolong. Sesamaku disini
berasumsi ada orang yang termasuk kelompokku dan ada yang tidak, ada yang
berhak ditolong ada yang tidak. Ini membuat si penanya merasa layak menentukan
siapa sesamanya dan siapa yang bukan, karena tidak semua orang adalah sesamanya.
Hal inilah yang membuat banyak orang picik, tidak mau bergaul, sesamaku adalah
satu kampus, satu fakultas, satu jurusan, satu marga, satu agama, satu gereja,
satu sektor. Sehingga hal ini membatasi kita hadir dalam satu acara/kegiatan
jika kita tidak terlibat di satu kepengurusan tertentu. Orang Lewi dan imam
mengaksklusifkan hanya orang Lewi dan yahudi. Ini juga dapat terjadi pada kita
menjadi kelompok yang eksklusif, terkotak-kotak, memilih mana yang layak
ditolong, mana yang tidak. Orang Samaria menjadi sesama bagi orang yang
dirampok. Selama ini orang Yahudi dan orang Samaria saling bermusuhan, tapi
tidak menghalangi dia untuk menolong.
Sikap yang benar adalah bahwa kita menjadi sesama bagi
siapa saja. Jadi bukan “Siapakah sesamaku”
tapi “Siapakah aku bagi sesama?”Siapakah
kita bagi koruptor? Siapakah kita bagi korban ketidakadilan? Siapakah kita bagi
orang-orang miskin? Siapa kita bagi para pengungsi< anak-anak jalanan,
mereka yang tidak bisa sekolah karena tidak punya uang, anak-anak keluarga broken home, pedagang kaki lima yang
digusur? Apakah kita diam hanya karena mereka bukan orang yang kita kenal?
Bukan orang yang layak untuk kita tolong? Menolong bukan hanya karenaa satu
gereja, satu suku, satu agama. Siapakah kita bagi mahasiswa yang ditindas? Siapakah
kita bagi mahasiswa yang selalu diajarin asisten dosen karena dosennya tidak
pernah masuk? Mari berbuat untuk meminimalisir kejahatan.Siapakah Yesus bagi
kita? Dia telah menebus kita dari dosa, inilah kasih yang simpati dan empati.
Roma 5:8 “Akan tetapi Allah telah
manunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita,
ketika kita masih berdosa” Bukankah ketika kita masih berdosa Kristus mati
untuk kita? Jika kita bersama para
koruptor, pemabuk, pezinah, penindas, siapakah kita bagi mereka? Ingat, kita
bukan hakim yang menghukum mereka. Dengan pertanyaan “Siapakah aku bagi
sesamaku” akan menghilangkan konflik horizontal antar agama, suku, golongan.
Kita harus berpikir bagaimana menjadi sesama bagi orang lain. Membangun sikap
menjadi sesama akan menghilangkan kecurigaan, pengkotak-kotakan dalam
masyarakat. Tidak ada batas agama, suku dan status sosial. Kita adalah sesama.
Mari menularkan sikap ini dan akan menolong menciptakan kerukunan beragama.
Solideo Gloria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar