Oleh : Drs.Tiopan Manihuruk, MTh
Setelah penciptaan, Allah
memberikan mandat kepada manusia
Kej.1:28 – be cultivated Mandat itu untuk mengeksplorasi bukan
mengeksploitasi bumi demi kesejahteraan manusia dan mengelola bumi untuk
menjadikannya ‘sorga’ bukan neraka. Demi realisasi mandat tersebut, Allah
memberikan seorang penolong bagi manusia (Kej.2:18). Terbentuknya keluarga
adalah menghadirkan shalom Allah, kita hadir di tempat kerja juga dalam rangka
menghadirkan shalom Allah.Kejatuhan membuat manusia absurd melihat dan
menyikapi mandat tersebut dan mereka hidup untuk diri sendiri, bahkan cenderung
merusak, tidak mengerti kehendak Allah. Banyak organisasi yang menyuarakan
ekologi karena mereka humanis dan akan berbeda jika kita yang melindungi alam
karena mengerti mandat Allah. Penebusan dalam Kristus memulihkan manusia
sehingga dapat kembali melihat dan mengerjakan mandat ilahi (Ef.2: 10)
Mandat Allah menjawab zaman: Musa dipanggil Tuhan untuk
pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir (Kel.2-4),Yosua melanjutkan atau
menuntaskan kepemimpinan Musa hingga Israel tiba di tanah Kanaan, Yusuf
(dipakai Allah untuk memelihara Israel pada masa paceklik), Daniel, Nehemia
dipanggil Tuhan untuk berkarya, Yeremia, Yesaya menyuarakan sabda Allah ketika Israel di pembuangan Babel.
Yesus & Kerajaan Allah (Lk.4:18-19), Ia menyampaikan
kabar baik kepada orang miskin ,Bagi bagi orang tawanan,penglihatan bagi
yang buta, membebaskan orang tertindas, memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang. Bagi orang yang miskin rohani kabarkan firman Tuhan, jika ia butuh
makanan/pakaian, berikan apa yang mereka perlu. Orang yang tertawan karena
dosa, beritakan firman Tuhan, orang yang ditawan haknya/gajinya, perjuangkan
haknya.
Yesus dan Politik.Ada
3 lapisan masyarakat pada masa Yesus, yaitu: Saduki kelas sosial atas
yang kaya tapi minoritas(pengambil keputusan terpenting di Israel), Farisi kelas menengah, bersahabat,
berwatak urban dan sebagaian berjiwa revolusioner, Am Haaretz (Essena),
kelas bawah dari kaum tani, buruh kasar, lumpen proletaria.Kepada
kaum Essena Yesus memberikan perhatian-Nya dan merekalah lebih mendukung atau
mengikuti Dia .Kekejaman Imperium Romawi mendorong Farisi mendukung aliansi
kekuatan antar kelas bawah perkotaan dan kelas bawah pedesaan yang melahirkan
kelompok Zealots yang kemudian mencetuskan pemberontakan massa Karena penindasan Imperium Romawi yang semakin keras maka seiring waktu dan secara psikologis menyebabkan lahirnya gerakan ke arah mesianik, yang merindukan datangnya seorang juruselamat (Mesias). Yesus datang menghadirkan Kerajaan Allah dan Dia sendirilah Sang Raja (Zak. 9: 9) dan para pengikut-Nya menyebut Dia sebagai Raja Israel (Yoh. 12: 13).Itulah sebabnya para pemimpin Romawi menganggap Yesus sebagai ancaman dan di bawah kekuasaan politik Pontius Pilatus Dia dihukum mati . Penguasa Romawi salah karena Yesus tidak akan pernah mendirikan kerajaan-Nya di dunia ini (Yoh. 18: 36) dan Yesus mengajarkan agar orang Yahudi taat kepada kekaisaran Romawi (Mt. 22: 15-21).Yesus adalah tokoh spiritual sekaligus tokoh politik yang tanpa kekerasan. Yesus mengajarkan ketaatan atau ketundukan pada pemerintah meskipun pemerintah itu sendiri penindas atau zalim. Oleh karena Yesus tidak
berorientasi pada kekuasaan, Dia tidak pernah mendorong pengikut-Nya
menggulirkan revolusi sosial .Visi politik Yesus adalah secara damai dan ini
kemudian dilanjutkan oleh para Rasul (Rom. 13: 1-7; 1 Ptr. 2: 13-17; 1 Tim. 2: 2; Tit. 3: 1)
Apa essensi
Politik?Kekuasaan
(power) di mana dengan memegang kekuasaan maka pelbagai kepentingan
menjadi mudah. Kekuasaan berarti kemampuan memengaruhi pihak lain agar
mengikuti apa yang kita kehendaki).Dengan prinsip ini (kata Rudolf Otto) maka
kekuasaan itu memiliki dua wajah: memesona dan mengerikan (tremendum et
fascinatum) – antara dicinta dan ditabukan/dibenci. Politik berkaitan erat
dengan pembuatan kebijakan (policy making) yang menyangkut hidup orang
banyak (public).Karena itu politik selalu berhubungan dengan
pemerintahan (polity) atau mencakup negara dan warga negara. Dalam Politik berlaku: ‘who gets what,
when and how?’ (Harold Laswell, 1972)Dengan prinsip ini politik dapat
diartikan sebagai ‘the art of possibilities’.Sejatinya tujuan politik
adalah common atau public good atau kebaikan bersama atau publik (Badiou
& Norberto Bobbio)
Politik
Kepemimpinan Otentik.Politik selalu tampil dengan dua wajah yang paradoksal: Epifani ketulusan
dan ekspressi buruk rupa; Lambang akal waras dan pantulan sesat pikir.Tarik
menarik diantara keduanya menjadi narasi sepanjang sejarah dan fenomena kedua
yang acapkali tampil ke muka. Demokrasi sebagai jangkar utama politik yang
dianggap merepresentasikan kehendak publik menyelenggarakan pemilu .Pemilu
dapat dianggap jadi pintu masuknya wakil rakyat yang dapat mengubah
kemustahilan menjadi kemungkinan, mentransformasikan angan-angan khalayak
menjadi realita, mengejawantahkan mimpi kebangsaan menjadi bagian dari sejarah
keseharian –istilah Bung Karno: Revolusi yang belum selesai . Pemilu melahirkan keterwakilan
bukan saja secara fisik, tetapi lebih daripada itu ada visi yang jelas akan
masa depan bangsa .Alan Badiou: Dengan kepercayaan (fidelity), pilihan
(choice), dan menggerakkan perubahan (change)
3 alasan (minimal) adanya Pemilu :
- Pemilu
menyediakan kesempatan bagi rakyat untuk mengeja-wantahkan mandat
institusional langsung. Mandat dengan kedaulatan rakyat penting dalam
demokrasi modern, karena demokrasi yang tidak melibatkan rakyat hanyalah
sebuah oligarkhi
- Pemilu
membuka kesempatan bagi perubahan politik secara damai melalui proses
sirkulasi elite dan atau peneguhan komitmen politik baru. Kemungkinan
menghadirkan muka atau kebijakan politik baru melalui pemilu adalah
mekanisme membuat perubahan politik tanpa revolusi
- Pemilu
memberi kesempatan kepada rakyat menjadi penentu atas kontestasi,
kompetisi dan rivalitas politik serta pilihan nilai yang menentukan nasib
mereka hingga pemilu berikutnya. Melalui pemilu rakyat ditempatkan sebagai
penentu berbagai pilihan prioritas dan cara terbaik mencapai tujuan
kolektif. Pada sisi lain pemilu juga dikaitkan sebagai pendidikan dan
komunikasi politik , tapi sayangnya kampanye menjadikan ideology tanpa
makna, dan kampanye hanya dijadikan ajang pencitraan.
Substansi Pemilu 2014. Tahun 1999:
Mengembalikan kedaulatan rakyat dengan menumbangkan Orde Baru dan militerisme,
tahun 2004: Demokrasi yang lebih baik dengan parpol yang dibedakan dari
simbol ideologis dan aliran, yaitu nasionalis dan agamis – pilpres I secara
langsung , tahun2009: Sama seperti tahun 2004 - simbol ideologis dijual tanpa
mencapai tujuan kolektif bangsa. Tema dan simbol ideologis dipermainkan untuk tujuan
politik sesaat. Cita-cita reformasi gagal?Pemilu 2014 pemilihan tanda gambar
Parpol disandingkan dengan pemilihan caleg dengan suara mayoritas. Ideologi
parpol ‘digeser’ oleh kemampuan pencitraan dan daya jual serta money-politic
.Pertarungan kaum idealis-nasionalis yang humanis dengan kaum oportunis,
fundamentalisme agamis dan politisi sisa penguasa masa lalu dan politisi kotor .Politisasi
agama dan simbolnya yang bermuara pada desakralisasi.Tumbangnya partai agamis
Kristen yang sebenarnya bukan representasi umat (PDS, PDKB dll).Kepentingan
bangsa dikalahkan oleh kehausan akan kekuasaan. Koalisi bukan didasarkan pada
visi kebangsaan dan kesejahteraan rakyat, melainkan sebuah pertarungan para
elit yang rakus akan kekuasaan dan uang serta demi hegemoni sebuah kelompok
atau aliran. Dikotomi antara nasionalis (presiden dan wakil presiden harus
kombinasi sipil dan militer) dengan agamis (moderat-fundamentalis).Trend
pengusaha jadi penguasa .Ruang pluralisme yang digeser kaum fundamentalis.
Lahirnya politisi karbitan dan aji mumpung. Rumah demokrasi akan diisi oleh
orang yang tidak tepat (koruptor, preman, kroni, pengusaha dan politisi kotor).
Realita Perpolitikan Indonesia :Kontrak
politik didasarkan pada koalisi transaksional bukan dengan platform partai dan
agenda negara. Bukankah kepentingan elit politik dan parpol menggeser
kepentingan bangsa? Sikap seperti ini akan melahirkan penguasa yang gastrosophic,
yang hanya mampu mementingkan diri sendiri demi kelestarian kekuasaan. Selain
pemerintahan yang gastrosophic, penguasa yang jahat dan memeras rakyat
melalui korupsi juga menjadi pemerintah yang kleptokrasi di mana
berpura-pura baik tetapi sebenarnya menyengsarakan rakyatnya. Memang harus
diakui bahwa politik adalah seni segala kemungkinan (the art of possibilities).Ideologi
bukan lagi menjadi rujukan untuk menciptakan ikatan politik. Ideologi politik
dapat diubah sesaat untuk memenuhi kepentingan hasrat. Ideologi sebagai gagasan
ideal yang hendak diperjuangankan secara konsisten hanya bernasib bagaikan pakaian
yang bisa dipertukarkan sesuai dengan kebutuhan pentas kekuasaan. Ideologi
telah sirna karena ideologi tidak lebih hanya berkedudukan sebagai label
dagangan politik dalam slogan kampanye dan iklan politik untuk meraih simpati
rakyat.Politisi Indonesia lebih bersifat opurtunis yang dibungkus dengan
ideologi dan cita-cita. Itulah sebabnya lahir ambiguitas dalam kekuasaan
politik. Ketika hasrat berkuasa menguasai sehingga merampok ideologi dan
cita-cita politik, peluang yang senantiasa terbuka adalah sebentuk opurtunisme
yang mendorong elite politik menjadi perampok kekuasaan.Sosok perampok
kekuasaan selalu berhitung dengan realitas di sekitarnya (yang mengitarinya)
bukan berjuang dengan memuliakan idealitas yang diyakininya. Maka hal yang
wajar terjadi adalah realpolitik membinasakan ideal politik dengan pragmatisme
sesaat. Real politik hanya berhitung
pada kekuasaan yang ingin didapatkan sambil dengan aneka tipu daya mematikan
idealitas, moralitas, dan prinsip-prinsip humanitas. Sikap seperti ini erat dengan
filsafat politik yaitu realisme politik. Kekuasaan dan bahkan menjadi keharusan
untuk dijadikan sebagai tujuan utama tindakan politik. Memburu kekuasaan dengan
realpolitik telah menjadi nyata bahkan
menjadi banalitas yang dapat mereduksi prinsip etika politik dengan
kekerasan dan kebohongan. Koalisi yang sejati hanya akan dilandasi oleh
kesesuaian ideologi, visi, misi dan program politik.Jika dengan dasar ini maka
dapat disebut koalisi strategis dan para pemilih masih tetap percaya bahwa
kekuasaan sebagai organum salutis, sarana keselamatan. Memburu kekuasaan
dengan realpolitik telah menjadi nyata bahkan
menjadi banalitas yang dapat mereduksi prinsip etika politik dengan
kekerasan dan kebohongan.
Koalisi yang sejati hanya akan dilandasi oleh kesesuaian ideologi, visi, misi dan program politik. Jika dengan dasar ini maka dapat disebut koalisi strategis dan para pemilih masih tetap percaya bahwa kekuasaan sebagai organum salutis, sarana keselamatan. Pada tataran permukaan, politik adalah perebutan kekuasaan, maka ideologi tetap merupakan faktor penjamin komitmen yang menyatukan berbagai partai politik yang berbeda. Koalisi tanpa visi yang berdasarkan kepentingan atau kenikmatan sesaat (epithumia) yang pragmatis hanya akan melahirkan pelacuran politik.
Perebutan kekuasaan akan menjadi sebuah perselingkuhan saat kepentingan rakyat direduksi menjadi sekedar urusan elit membagi jatah kekuasaan. Maka ketika rakyat tidak mampu menagih janji pasca pemilu, demokrasi akan kehilangan rohnya. Takhta dicari dan diabdi sedangkan rakyat dibiarkan merana. Koalisi dagang sapi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan hanya akan memberikan keuntungan bagi oligarkhi (elit) politik dan mengabaikan kepentingan rakyat, meskipun koalisi ‘digagasi’ selalu atas nama kesejahteraan rakyat.Koalisi ini juga akan mahal harganya karena ancaman mosi tidak percaya di DPR apabila tuntutan mereka yang begitu besar tidak dipatuhi oleh pemerintah, sehingga rentan terhadap praktik politik black-mail (pemerasan). Ketika hal-hal di atas terjadi bukankah banyak orang menjadi masa bodoh, apatis dan hanya mementingkan diri dan kelompoknya? Sebagian anak-anak bangsa mulai merasa apatis dan frustrasi.
Wajah Parlemen Indonesia : Slogan
tanpa karya – pembuat dan pengingkar janji. Ramah dan jadi ‘sahabat’ hanya
sebelum pemilu, Di DPR mewakili rakyat atau partai? –recalling,Gaji besar +
fasilitas mewah, tetapi tidur dan ngobrol tanpa peduli rakyat, Nuansa dan
kepentingan politik lebih besar daripada kepentingan rakyat – produk UU & fit
and proper test, kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen akan menguntungkan
mereka.Posisi di parlemen lebih sarat dengan peluang memperkaya diri.Plesiran
(bersama keluarga) dengan dalih studi banding atas biaya negara dengan layanan
kelas utama. Tingkat kehadiran yang rendah. Gratifikasi dan servis dalam kunker
padahal spj sdh diterima. Makelar proyek & pemeras BUMN?
Jenis Parpol Pemilu 2014 : wawasan
kebangsaan/nasionalis (PDI-P dan Golkar) dengan semua pecahannya (HANURA,
GERINDRA, PKPI). Aliran sosialisme demokrasi: PD, NASDEM, aliran pemikiran
politik Islam :P3, PKB, PBB, PAN, PKS, aliran pemikiran politik Kristen (album kenangan).
Rakyat dan Pemilu 2014 : rakyat
APES? - apatis, pesimis dan skeptis, dieksploitasi dan menjadi korban
pembodohan dan pembohongan dengan money-politics, janji dan ‘bius’
politik?GOLPUT? – Sejelek apapun partai dan calegnya (DPR, DPRD dan DPD),
tetapi keputusan mereka membuat UU dan semua warga negara wajib mematuhi. Kita
ikut menentukan mereka yang akan menentukan arah bangsa ini. Minus malum, memilih
yang terbaik dari semua yang jelek/buruk. Apa yg dijual parpol dan caleg? Programnya
abstrak, penuh dengan nyanyian lama atau kenangan tanpa kenyataan (tidak ada
langkah konkrit) – slogan tanpa karya, tebar pesona dengan pencitraan diri yang
narsis tanpa karya nyata (track-record yang tidak jelas), penggunaan
black-campaign dengan mencari kelemahan pihak lain, bukan menjual program dan
kelebihannya.
Partisipasi Politik Umat Allah : yang
tidak berpolitik akan menjadi korban politik atau diperalat oleh kepentingan
politik orang lain, kita bukan penonton yang budiman, melainkan pemain yang
elegan, membangun bangsa adalah tugas dan panggilan semua umat Allah untuk
menghadirkan shalom di bumi Indonesia. Apa yang dapat kita lakukan? Berdoa
bagi bangsa (1 Tim.2: 1-4; 2 Taw.7:14), terlibat dengan: sosialisasi
pemilu dan parpol agar rakyat mengenal partai dengan benar (visi, misi dan
tujuan serta kualitas calegnya)-pemilih cerdas, mendorong masyarakat agar tidak
apatis atau pesimis dengan pemilu, penyaluran aspirasi dengan mengenali parpol (plat-form/landasan perjuangan,
jenis perahu dan awaknya yang akan ditumpangi) – tidak beli kucing dalam
karung. Pilih caleg yang capable, acceptable dan accountable. Sadarilah :
Setiap keputusan/pilihan hari ini akan menentukan arah dan gerak bangsa ke
depan. DPR dan DPD serta DPRD adalah decision-maker untuk bangsa.
Keputusan mereka menentukan arah bangsa hari esok, mempertahankan NKRI
berdasarkan UUD’45 dan Pancasila adalah sesuatu yang mutlak. ‘Fanatisme
buta’ bukanlah cara berfikir yang tepat.
Primordialisme dalam menentukan pilihan hanya akan tepat jika hal tersebut
tidak mengusik kebangsaan secara nasional. Peran yang lain: beri pendidikan
politik kepada rakyat agar mereka tidak tergiring kepada kepentingan sesaat, bangun
prinsip nasionalisme dalam masyarakat yang pluralis, ikut menjaga kelangsungan
Pemilu yang aman, jujur dan adil, menjadi relawan pemantau Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar