Oleh : Drs.
Tiopan Manihuruk, MTh
PENGANTAR
Jika kita berbicara tentang merajut
kebinekaan, ada subjective meaning, makna yang subjektif bukan hal yang real,
misalnya ada 2 orang yang bermusuhan dengan orang yang sama itu disebut subjective
meaning, setelah itu akan bermusuhan lagi. Sama seperti melawan penjajah,
sama-sama melawan karena penderitaan yang sama , tapi setelah merdeka, terjadi
pertikaian. Masa penjajahan (miskin dan tertindas) - rakyat ‘Indonesia’ diikat
oleh subjective meaning (Max Weber Ada perasaan senasib sepenanggungan
dan sependeritaan sehingga secara bersama-sama memandang penjajah sebagai common
enemy. Prinsip ini melahirkan perjuangan bersama, yakni kemerdekaan dan
mendirikan sebuah negara berdaulat, yaitu Indonesia.
Berbagai etnis di nusantara bersatu
dan lahirlah Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 dengan ikrar persatuan; satu tanah air - Indonesia, satu bahasa - Indonesia
dan satu bangsa – Indonesia, tidak ada
perbedaan suku, agama, yang penting satu
bangsa, bahasa. Semangat persatuan inilah melahirkan Negara ini . Semangat
kesatuan ini mengawali dorongan untuk merdeka dan membentuk negara berdaulat
yang lahir pada 17 Agustus 1945. Negara Indonesia lahir atas perjuangan seluruh
rakyat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan bahasa
Kebinekaan, artinya unity in
diversity; unity not uniformity. The part always has a tendency to unite, with
its whole in order to escape from its imperfection (Leonardo da Vinci)
bagian-bagian itu biasanya memiliki kecenderungan untuk bersatu meskipun tidak
sempurna, tapi ketika semua bagian-bagian itu rindu untuk bersatu maka
terciptalah kesatuan.
In omnibus glorificetur Deus (Latin) – Biarlah Tuhan dimuliakan dalam segala cara
Religi nenek moyang Indonesia adalah religi perbuatan, tingkah
laku, bukan religi kata-kata (logos) karena mereka belum mengenal kitab
suci. Ketika muncul kitab suci (agama logos) muncul konflik karena berbenturan
dengan doktrin, pemahaman2 yang menghasilkan exclusifisme, dogma yang berbeda
menimbulkan perbedaan2 yg tajam dan
timbul bentrok satu sama lain termasuk dalam kekristenan. Religi logos zaman
ini dapat melahirkan benturan atau konflik sebagai produk dogma yang berbeda. Zaman
sekarang ini, agama yang berdasarkan dengan logos ( memiliki kitab suci)
cenderung menjadi agama formalis yang
sarat dengan kalimat-kalimat rohani tapi tidak bermuara pada praktika, sehingga
agama menjadi simbol, berkata-kata rohani, sehingga tidak terwujud dalam
prilaku..Kebinekaan adalah harmoni dalam kepelbagaian
Pembangunan
Nasionalisme
Nasionalisme yang dibangun dalam
kandungan filosofis yang menegaskan bahwa semua etnis yang ada di nusantara ini
wajib satu sama lain untuk saling mengenal, mempelajari, memahami dan menghargai
heterogenitas dan kekhasan setiap suku. Hal ini penting, sebab tanpa pemahaman
dan pengakuan yang memadai, khususnya bagi kelompok etnis & agama yang
mayoritas, maka akan terjadi hegemoni dan tirani yang mengancam nasionalisme
kebangsaan.
Bergabungnya rakyat Indonesia dari
berbagai etnis yang berbeda world-view, karakter, budaya, agama dalam
kesatuan Indonesia tidak serta merta membuat pembangunan nasionalisme telah
usai. Nasionalisme rakyat Indonesia masih pada tataran konsep dan simbol
sehingga rentan dengan perpecahan. Bila dilihat dari perjalanan bangsa ini
sejak kemerdekaan, masih sangat banyak persoalan krusial-subtansil kebangsaan
yang belum dipahami, diayomi dan diakomodasi dengan tepat baik oleh pemerintah
maupun oleh rakyat sendiri
Penanganan semua hal ini perlu untuk
merajut, merawat dan memelihara eksistensi negara persatuan nasional yang
berguna untuk membangun martabat, kesejahteraan dan kehormatan bangsa. Karena
itu penting dirawat nasionalisme dalam kebinekaan dengan heterogenitas rakyat Indonesia.
Titik akhir yg terbaik dari kebinekaan adalah,
kita bukan hanya mampu menerima perbedaan,tapi merayakan perbedaan.
Bahkan untuk menikah dengan yang berbeda suku pun masih sulit bagi kita
Nasionalisme Masa
Orde Baru
Orde Baru ditandai dengan terciptanya
regim otoriter di mana sistim politik yang sentralistik, hegemonik dan penuh
dengan kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia. Nasionalisme kita dalam
orde baru cukup mapan karena pemerintah
agak absolute otoriter, sehingga semua kegerakan yang berbau sara dihalangi
oleh pemerintah. Kekuasaan pemerintah hampir bersifat absolut, eksploitatif dan
konspiratif sehingga hubungan daerah (rakyat) dengan pusat bersifat patron
antara tuan dan majikan yang menggambarkan ciri perbudakan
Nasionalisme menjadi semu atau mungkin
mati suri karena munculnya konflik, krisis dan tragedi kemanusiaan yang
multidimensi. Penguasa dan kalangan elit masyarakat tertentu cenderung berbuat
diskriminatif, konspiratif, koruptif, kolutif, nepotis, monopolis,
eksploitatif, penindasan dan pembunuhan
Era Reformasi
Bukankah era reformasi juga tidak
terlalu bisa diharapkan untuk melestarikan kelangsungan nasionalisme? Memang
harus diakui bahwa pembangunan demokrasi sudah jauh lebih baik pada saat ini
meskipun kadang menjadi democrazy dengan anarkhisme yang bermuara pada
banalitas kekerasan, munculnya kelompok-kelompok yang sangat primordial.
Di manakah nasionalisme ketika kelompok agama dan keyakinan
tertentu tidak lagi bebas beribadah sesuai iman percayanya?
Bukankah nasionalisme menjadi semu
ketika hegemoni kelompok suku dan agama tertentu dibiarkan tumbuh subur? Adakah rakyat kelas satu atau kelas dua di
negara ini? Ada perbedaan karena
perbedaan agama mayoritas dan minoritas. Apakah kita masih memasang bendera di
hari besar nasional, ada apa dengan bangsa ini? Kebebasan beragama terusik dan
kekerasan atas nama agama dan ‘Tuhan’ dibiarkan tumbuh. Sebagian rakyat
mengeluh dan berkata: ‘Kami memang setanah air, tetapi kami merasa tidak
diperlakukan sebangsa. Kami dikejar-kejar dan mengalami siksaan kekerasan fisik
hanya karena kami berbeda suku dan agama
daripada sebagian besar penduduk negeri ini’
Masifnya kekerasan atas nama agama dan
Tuhan melahirkan banalitas. Apakah kekerasan yang terjadi pada agama-agama yang
berbeda, menghasilkan reaksi yang sama
atau berbeda? Pertarungan politik di Negara kita adalah pertarungan ideology
yang pada akhirnya ingin mengganti dasar
ideology Negara. Kontestasi politik kita
sangat primordial dan rasis sebagai cara berpolitik primitif. Penekanan bukan pada identitas politik
(partainya apa, pendirinya apa) melainkan politik identitas (suku apa, agama
apa, kelompok mana). Politik identitas akan mematikan demokrasi. Kita harus
memilih orang yang berkualitas, meskipun dia berbeda suku dan agama. Jika kita
bermain dengan prinsip bhineka tunggal ika dalam nasionalisme maka yang terjadi
adalah kita adalah rivalry bukan enemy, sehingga jika kalah dalam pilkada, tidak akan menjadi musuh.
Jangan-jangan kita juga tidak mau bergabung dengan teman-teman yang berbeda
agama dan suku. Kapan kita menjadi berkat jika kita tidak pernah mau berteman
dengan semua orang.
Apa Peran Kita?
·
Sikap APES
(Apatis, Pesimis dan Skeptis) dengan ‘pembiaran’ akan bermuara pada kehancuran
dan disintegrasi dengan tragedi kemanusiaan. Kita bisa apatis bila tidak ada
pilihan yang menjanjikan. Setidaknya kita harus memilih yang terbaik dari yang
terburuk, supaya jangan yang terburuk
tidak memimpin menjadi lebih buruk lagi.
·
Kita bukan
penonton, melainkan pemain sebagai penggerak perjuangan - bukan bagian dari
masalah tetapi bagian dari solusi atas persoalan bangsa. Dalam pilkada, kita
harus aktif, menjadi pemilih, relawam suoaya tidak ada rakyat yang kehilangan
hak pilih, menjadi saksi dalam pemilu untuk penghitungan suara di TPS. Mari
mendorong anggota keluarga kita untuk ikut dalam pemilu, menjadi pemilih yang
cerdas. Dalam kondisi Negara ini, rentan pada pembiaran yang bermuara pada disintegrasi bangsa. Jika
isu-isu perbedaan SARA dibiarkan, maka kemungkinan tiap profinsi bias menunutut
untuk merdeka. Karena itu penting membangun kebinekaan, sehingga penting untuk
tidak membedakan suku dan agama.
·
Kita berjuang
menentang ketidakadilan dan marginalisasi dan diskriminasi
·
Kesalehan
vertikal (individu) harus sejalan dengan kesalehan horizontal (sosial) untuk
menghadirkan shalom Allah . kita sering kali membangun kesalehan vertical tapi
gagal membangun kesalehan horizontal. Kesalehan sosial akan muncul ketika ada
kepedulian terhadap sesama manusia dan kesediaan untuk bertindak membebaskan
mereka dari ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan (Lk 4: 18-19), menghadirkan kerajaan Allah bagi
mereka. Mari terlibat dalam gotong royong di lingkungan rumah kita.
·
Kita harus
menanamkan nasionalisme dengan mengikis primordialisme dalam bentuk apapun dan
membangun atau terlibat dalam kegerakan yang bersifat nasionalis (inklusif). Dalam
kondisi Indonesia yang heterogen paham pluralisme, perlu merajut kebersamaan
sesama anak bangsa dalam kebinekaan.
·
Menjadi sahabat
semua orang (tanpa batas) dengan menebarkan kasih yang menembus batas. Ingat
kisah orang Samaria yang baik hati, yang
menembus batas bangsa ,agama, suku, maka Yesus menggunakan kisah ini
untuk menegur iman orang lewi yang sangat ekslusif dan tidak membaur. Mari
membangun kesalehan sosial tanpa melihat asal suku, agama. Menerima
pegawai/bawahan juga jangan melihat latar belakang suku dan agama yang sama,
siapa yang berkualitas untuk menjadi pegawai, dialah yang kita terima untuk
bekerja.
·
Berdoa bagi
bangsa (1 Tim 2: 1-4) dan mengusahakan kesejahteraan kota (Yer 29: 7).
Berdoalah supaya pemimpin dapat memimpin atas dasar cinta kasih tanpa memandang
suku dan agama. Karena itu kita perlu selalu mengikuti perkembangan di Negara
kita sehingga dapat berdoa dengan tepat.
·
Kegiatan sosial
(bukan social gospel) yang langsung menjawab kebutuhan rakyat tertindas
dan miskin perlu ditingkatkan (Mt 25: 31-46; Lk 10: 25-37) - Kasih menembus
batas. Bangunlah relasi dengan tetangga kita, mengunjungi ketika berlebaran.
Negara yang
sejati seharusnya mengurus demokrasi, Negara tidak boleh intervensi pada agama
tapi mengayomi setiap warga Negara maka pendekatannya adalah HAM bukan
kepentingan agama. Indonesia adalah Negara Pancasila, tetap memfasilitiasi
warga Negara dalam perayaan agamanya.
Sebagai warga Negara, kita berhak memiliki tanah dan rumah tanpa
memandang apakah dia seorang pribumi atau non pribumi atau agama apapun yang
dia anut. Jika kita ingin bergabung dalam politik harus dalam kesamaan ideology
bukan sekedar oportunis, yang ingin mendapatkan jabatan dan kehilangan
idealismenya. Kita dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat di organisasi
kampus , menjadi anggota BEM atau organisasi kemahasiswaan lainnya.
Belajar dari Nehemia dalam membangun bangsa.
Neh. 1-3. Nehemia memiliki visi dengan tiga unsur, yaitu Concern, Compassion
& Commitment + Community, dan
semua hal ini merupakan hasil dari Contemplation. SOLIDEO GLORIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar