Jumat, 02 Maret 2018

MERAWAT KESATUAN DALAM KEBINEKAAN


Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh



PENGANTAR


Jika kita berbicara tentang merajut kebinekaan, ada subjective meaning, makna yang subjektif bukan hal yang real, misalnya ada 2 orang yang bermusuhan dengan orang yang sama itu disebut subjective meaning, setelah itu akan bermusuhan lagi. Sama seperti melawan penjajah, sama-sama melawan karena penderitaan yang sama , tapi setelah merdeka, terjadi pertikaian. Masa penjajahan (miskin dan tertindas) - rakyat ‘Indonesia’ diikat oleh subjective meaning (Max Weber Ada perasaan senasib sepenanggungan dan sependeritaan sehingga secara bersama-sama memandang penjajah sebagai common enemy. Prinsip ini melahirkan perjuangan bersama, yakni kemerdekaan dan mendirikan sebuah negara berdaulat, yaitu Indonesia.
Berbagai etnis di nusantara bersatu dan lahirlah  Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan ikrar persatuan; satu tanah air - Indonesia, satu bahasa - Indonesia dan satu bangsa – Indonesia,  tidak ada perbedaan suku,  agama, yang penting satu bangsa, bahasa. Semangat persatuan inilah melahirkan Negara ini . Semangat kesatuan ini mengawali dorongan untuk merdeka dan membentuk negara berdaulat yang lahir pada 17 Agustus 1945. Negara Indonesia lahir atas perjuangan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan bahasa

Kebinekaan, artinya unity in diversity; unity not uniformity. The part always has a tendency to unite, with its whole in order to escape from its imperfection (Leonardo da Vinci) bagian-bagian itu biasanya memiliki kecenderungan untuk bersatu meskipun tidak sempurna, tapi ketika semua bagian-bagian itu rindu untuk bersatu maka terciptalah kesatuan.

In omnibus glorificetur Deus (Latin) – Biarlah Tuhan dimuliakan dalam segala cara
Religi nenek moyang Indonesia adalah religi perbuatan, tingkah laku, bukan religi kata-kata (logos) karena mereka belum mengenal kitab suci. Ketika muncul kitab suci (agama logos) muncul konflik karena berbenturan dengan doktrin, pemahaman2 yang menghasilkan exclusifisme, dogma yang berbeda menimbulkan perbedaan2 yg tajam  dan timbul bentrok satu sama lain termasuk dalam kekristenan. Religi logos zaman ini dapat melahirkan benturan atau konflik sebagai produk dogma yang berbeda. Zaman sekarang ini, agama yang berdasarkan dengan logos ( memiliki kitab suci) cenderung  menjadi agama formalis yang sarat dengan kalimat-kalimat rohani tapi tidak bermuara pada praktika, sehingga agama menjadi simbol, berkata-kata rohani, sehingga tidak terwujud dalam prilaku..Kebinekaan adalah harmoni dalam kepelbagaian

Pembangunan Nasionalisme
Nasionalisme yang dibangun dalam kandungan filosofis yang menegaskan bahwa semua etnis yang ada di nusantara ini wajib satu sama lain untuk saling mengenal, mempelajari, memahami dan menghargai heterogenitas dan kekhasan setiap suku. Hal ini penting, sebab tanpa pemahaman dan pengakuan yang memadai, khususnya bagi kelompok etnis & agama yang mayoritas, maka akan terjadi hegemoni dan tirani yang mengancam nasionalisme kebangsaan.
Bergabungnya rakyat Indonesia dari berbagai etnis yang berbeda world-view, karakter, budaya, agama dalam kesatuan Indonesia tidak serta merta membuat pembangunan nasionalisme telah usai. Nasionalisme rakyat Indonesia masih pada tataran konsep dan simbol sehingga rentan dengan perpecahan. Bila dilihat dari perjalanan bangsa ini sejak kemerdekaan, masih sangat banyak persoalan krusial-subtansil kebangsaan yang belum dipahami, diayomi dan diakomodasi dengan tepat baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat sendiri
Penanganan semua hal ini perlu untuk merajut, merawat dan memelihara eksistensi negara persatuan nasional yang berguna untuk membangun martabat, kesejahteraan dan kehormatan bangsa. Karena itu penting dirawat nasionalisme dalam kebinekaan dengan heterogenitas rakyat Indonesia. Titik akhir yg terbaik dari kebinekaan adalah,  kita bukan hanya mampu menerima perbedaan,tapi merayakan perbedaan. Bahkan untuk menikah dengan yang berbeda suku pun masih sulit bagi kita

Nasionalisme Masa Orde Baru
Orde Baru ditandai dengan terciptanya regim otoriter di mana sistim politik yang sentralistik, hegemonik dan penuh dengan kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia. Nasionalisme kita dalam orde baru cukup mapan  karena pemerintah agak absolute otoriter, sehingga semua kegerakan yang berbau sara dihalangi oleh pemerintah. Kekuasaan pemerintah hampir bersifat absolut, eksploitatif dan konspiratif sehingga hubungan daerah (rakyat) dengan pusat bersifat patron antara tuan dan majikan yang menggambarkan ciri perbudakan
Nasionalisme menjadi semu atau mungkin mati suri karena munculnya konflik, krisis dan tragedi kemanusiaan yang multidimensi. Penguasa dan kalangan elit masyarakat tertentu cenderung berbuat diskriminatif, konspiratif, koruptif, kolutif, nepotis, monopolis, eksploitatif, penindasan dan pembunuhan

Era Reformasi
Bukankah era reformasi juga tidak terlalu bisa diharapkan untuk melestarikan kelangsungan nasionalisme? Memang harus diakui bahwa pembangunan demokrasi sudah jauh lebih baik pada saat ini meskipun kadang menjadi democrazy dengan anarkhisme yang bermuara pada banalitas kekerasan, munculnya kelompok-kelompok yang sangat primordial.
Di manakah nasionalisme ketika kelompok agama dan keyakinan tertentu tidak lagi bebas beribadah sesuai iman percayanya?
Bukankah nasionalisme menjadi semu ketika hegemoni kelompok suku dan agama tertentu dibiarkan tumbuh subur?  Adakah rakyat kelas satu atau kelas dua di negara ini?  Ada perbedaan karena perbedaan agama mayoritas dan minoritas. Apakah kita masih memasang bendera di hari besar nasional, ada apa dengan bangsa ini? Kebebasan beragama terusik dan kekerasan atas nama agama dan ‘Tuhan’ dibiarkan tumbuh. Sebagian rakyat mengeluh dan berkata: ‘Kami memang setanah air, tetapi kami merasa tidak diperlakukan sebangsa. Kami dikejar-kejar dan mengalami siksaan kekerasan fisik hanya karena kami berbeda  suku dan agama daripada sebagian besar penduduk negeri ini’

Masifnya kekerasan atas nama agama dan Tuhan melahirkan banalitas. Apakah kekerasan yang terjadi pada agama-agama yang berbeda,  menghasilkan reaksi yang sama atau berbeda? Pertarungan politik di Negara kita adalah pertarungan ideology yang pada  akhirnya ingin mengganti dasar ideology Negara. Kontestasi politik  kita sangat primordial dan rasis sebagai cara berpolitik primitif.  Penekanan bukan pada identitas politik (partainya apa, pendirinya apa) melainkan politik identitas (suku apa, agama apa, kelompok mana). Politik identitas akan mematikan demokrasi. Kita harus memilih orang yang berkualitas, meskipun dia berbeda suku dan agama. Jika kita bermain dengan prinsip bhineka tunggal ika dalam nasionalisme maka yang terjadi adalah kita adalah  rivalry  bukan enemy, sehingga jika kalah dalam pilkada, tidak akan menjadi musuh. Jangan-jangan kita juga tidak mau bergabung dengan teman-teman yang berbeda agama dan suku. Kapan kita menjadi berkat jika kita tidak pernah mau berteman dengan semua orang.

Apa Peran Kita?
·         Sikap APES (Apatis, Pesimis dan Skeptis) dengan ‘pembiaran’ akan bermuara pada kehancuran dan disintegrasi dengan tragedi kemanusiaan. Kita bisa apatis bila tidak ada pilihan yang menjanjikan. Setidaknya kita harus memilih yang terbaik dari yang terburuk, supaya jangan yang terburuk  tidak memimpin menjadi lebih buruk lagi.
·         Kita bukan penonton, melainkan pemain sebagai penggerak perjuangan - bukan bagian dari masalah tetapi bagian dari solusi atas persoalan bangsa. Dalam pilkada, kita harus aktif, menjadi pemilih, relawam suoaya tidak ada rakyat yang kehilangan hak pilih, menjadi saksi dalam pemilu untuk penghitungan suara di TPS. Mari mendorong anggota keluarga kita untuk ikut dalam pemilu, menjadi pemilih yang cerdas. Dalam kondisi Negara ini, rentan pada pembiaran  yang bermuara pada disintegrasi bangsa. Jika isu-isu perbedaan SARA dibiarkan, maka kemungkinan tiap profinsi bias menunutut untuk merdeka. Karena itu penting membangun kebinekaan, sehingga penting untuk tidak membedakan suku dan agama.
·         Kita berjuang menentang ketidakadilan dan marginalisasi dan diskriminasi
·         Kesalehan vertikal (individu) harus sejalan dengan kesalehan horizontal (sosial) untuk menghadirkan shalom Allah . kita sering kali membangun kesalehan vertical tapi gagal membangun kesalehan horizontal. Kesalehan sosial akan muncul ketika ada kepedulian terhadap sesama manusia dan kesediaan untuk bertindak membebaskan mereka dari ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan (Lk  4: 18-19), menghadirkan kerajaan Allah bagi mereka. Mari terlibat dalam gotong royong di lingkungan rumah kita.
·         Kita harus menanamkan nasionalisme dengan mengikis primordialisme dalam bentuk apapun dan membangun atau terlibat dalam kegerakan yang bersifat nasionalis (inklusif). Dalam kondisi Indonesia yang heterogen paham pluralisme, perlu merajut kebersamaan sesama anak bangsa dalam kebinekaan.
·         Menjadi sahabat semua orang (tanpa batas) dengan menebarkan kasih yang menembus batas. Ingat kisah orang Samaria yang baik hati, yang  menembus batas bangsa ,agama, suku, maka Yesus menggunakan kisah ini untuk menegur iman orang lewi yang sangat ekslusif dan tidak membaur. Mari membangun kesalehan sosial tanpa melihat asal suku, agama. Menerima pegawai/bawahan juga jangan melihat latar belakang suku dan agama yang sama, siapa yang berkualitas untuk menjadi pegawai, dialah yang kita terima untuk bekerja.
·         Berdoa bagi bangsa (1 Tim 2: 1-4) dan mengusahakan kesejahteraan kota (Yer 29: 7). Berdoalah supaya pemimpin dapat memimpin atas dasar cinta kasih tanpa memandang suku dan agama. Karena itu kita perlu selalu mengikuti perkembangan di Negara kita sehingga dapat berdoa dengan tepat.
·         Kegiatan sosial (bukan social gospel) yang langsung menjawab kebutuhan rakyat tertindas dan miskin perlu ditingkatkan (Mt 25: 31-46; Lk 10: 25-37) - Kasih menembus batas. Bangunlah relasi dengan tetangga kita, mengunjungi ketika berlebaran.
Negara yang sejati seharusnya mengurus demokrasi, Negara tidak boleh intervensi pada agama tapi mengayomi setiap warga Negara maka pendekatannya adalah HAM bukan kepentingan agama. Indonesia adalah Negara Pancasila, tetap memfasilitiasi warga Negara dalam perayaan agamanya.  Sebagai warga Negara, kita berhak memiliki tanah dan rumah tanpa memandang apakah dia seorang pribumi atau non pribumi atau agama apapun yang dia anut. Jika kita ingin bergabung dalam politik harus dalam kesamaan ideology bukan sekedar oportunis, yang ingin mendapatkan jabatan dan kehilangan idealismenya. Kita dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat di organisasi kampus , menjadi anggota BEM atau organisasi kemahasiswaan lainnya.

Belajar dari Nehemia dalam membangun bangsa. Neh. 1-3. Nehemia memiliki visi dengan tiga unsur, yaitu Concern, Compassion & Commitment  + Community, dan semua  hal ini merupakan hasil dari  Contemplation. SOLIDEO GLORIA.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tema Unggulan

Mempersiapkan PERKAWINAN

Oleh : Drs. Tiopan Manihuruk, MTh Perjalanan masa pacaran yang langgeng akan terlihat dari: bertumbuh dalam iman dan karakter (jika...